Soal Majelis Masyayikh, Menag Dinilai Ceroboh

  • 31 Desember 2021
  • 1,276 views
Soal Majelis Masyayikh, Menag Dinilai Ceroboh

JAKARTA — Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas dianggap telah ceroboh dalam menetapkan formasi anggota Majelis Masyayikh Pesantren yang baru dilantiknya pada Kamis, (30/12).

Pasalnya, Menag hanya memilih 9 orang dari 17 orang kompisisi yang disarankan oleh Ahlul Haali wa Aqdi (AHWA).

Menurut salah seorang anggota AHWA, KH. Ahmad Taufik dari Pesantren Salafiyah Pasuruan, AHWA telah menjaring 21 nama calon anggota MM, dan berdasarkan musyawarah mufakat sebagaimana diatur dalam pasal 75 (2) PMA 31/2020, menyarankan kepada Menag untuk menetapkan 17 orang diantaranya. Hal ini, supaya keterwakilan varian pesantren terakomodir.

Senada, Dr. Agus Budiman juga menyampaikan bahwa anggota AHWA selama menjalankan tugasnya belum pernah bertemu dengan Menag. Beberapa kali diagendakan, namun tak terlaksana. “Mestinya ketemulah, supaya Menag bisa mendengar alasan secara komprehensif dari penjaringan nama-nama itu” ujarnya.

Dalam UU Pesantren 18/2019, Pasal 3 disebutkan bahwa anggota MM berjumlah ganjil, sedikitnya 9 dan sebanyak-banyaknya 17 orang.

Alih-alih menetapkan 17 orang sesuai amanat AHWA, Menag malah hanya memilih 9 orang. Akibatnya, beberapa varian pesantren yang tercantum dalam UU Pesantren 18/2019 tak terakomodir.

Padahal, dalam pasal 75 (5) disebutkan bahwa AHWA menyampaikan calon anggota MM kepada Menag, selanjutnya pada ayat (6) Menag menetapkan.

“Betul, Menag yang memilih kesembilan nama itu, lalu menetapkan dan mengukuhkan mereka sebagai Majelis Masyayikh,” kata KH. Ahmad Taufiq.

“Saya sangat kecewa dengan keputusan Menag yang mencoret sebagian besar nama yang kami sampaikan untuk dikukuhkan” imbuhnya.

Mengacu pada PMA 31, Pasal 75 bahwa pemilihan anggota MM mengacu pada asas proporsionalitas dan rumpun ilmu.

Untuk asas proporsionalitas, menurut Shobirin, S.H. dari Forum Komunikasi Pesantren Muadalah mestinya mengacu pada varian pesantren yang ada dalam UU Pesantren. Karena, tugas MM pasti mencakup semua pesantren.

Menurut Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren, Majelis Masyayikh harus dibentuk sebagai instrumen Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Pesantren. Mutu ini meliputi aspek peningkatan kualitas dan daya saing sumber daya, penguatan pengelolaan, serta peningkatan dukungan sarana dan prasarana pesantren.

“Kami kecewa karena Menag hanya menetapkan 9 orang dan sama sekali tidak ada perwakilan dari varian muallimin di dalamnya, padahal dalam UU Pesantren jelas sekali ada” tandas Dr. Agus Budiman, salah seorang anggota AHWA.

“Kesembilan nama yang ditetapkan Menag pun hanya berasal dari kelompok atau unsur pesantren salafiyah, dengan menafikan keberadaan wakil dari pesantren khalafiyah (modern)” lanjut Dr. Agus.

Bahkan, KH. Lukman Haris Dimyati, Pengasuh Pesantren Tremas, Pacitan mengaku kecewa dengan Menag, karena dalam keputusannya melabrak prinsip proporsionalitas yang diamanatkan peraturan perundang-undangan, sehingga membuat keputusannya menyimpang.

“Menag telah bertindak sektarian. Usulan nama dari Forum Komunikasi Pesantren Muadalah sama sekali tak diakomodir, padahal varian pesantren muadalah yang terdiri dari salafiyah dan muallimin dijamin dalam UU Pesantren, ini sungguh absurd dan keputusan sembrono,” tegasnya.

“Jika Menag tak mencabut keputusannya, atau paling tidak memperbaikinya, bukan mustahil pihaknya atau pihak-pihak lain akan menggugatnya di pengadilan” tegas Kiai Lukman.

Dengan komposisi Majelis Masyayikh seperti sekarang yang tak melibatkan beragam unsur pesantren, dia mempertanyakan kesungguhan Kementerian Agama dalam meningkatkan dan menjamin mutu pesantren.

Di tempat terpisah, KH. Anang Rikza Masyhadi dari Pesantren Tazakka berharap, agar penetapan MM kembali ke asas proporsionalitas, maka Menag sebaiknya menambah jumlah anggota MM dan memasukkan keterwakilan unsur-unsur yang ada dalam UU Pesantren, khususnya wakil dari varian muallimin @gbis

Ditulis oleh: admin